PENGARUH PEMBANGUNAN INDUSTRI PERANGKAT TIK TERHADAP PENGEMBANGAN TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA.
Khoirul Anam
Abstract
Efforts to build and develop telecommunications facilities in Indonesia required the development of ICT as a support device implementation, at the present moment means and facilities of information technology is still dominated by foreign products. Industrial products in the domestic telecommunications market only got less than 1%. The contribution of the national telecommunications manufacturing industry is only 3% of total national expenditures for telecommunications infrastructure 60 to 80 trillion rupiah from a total of 3%, which is a national indigenous production is only range from 0.1% to 0.7%. Thus the majority of the public funds collected through toll payments telecommunications services sent abroad. By looking at so great an opportunity it needed an effort to encourage manufacturing growth in the domestic telecommunications industry, by providing relief policies for telecommunications entrepreneur manufatur harder to build a telecommunications manufacturer, so that domestic demand will be met telecommunication device, and does not depend on foreign products, so that the construction and telecommunications development can be achieved, which in turn will create jobs that can improve people's welfare and the more intelligent of information technology.
Kata-kata Kunci : Industri perangkat telekomunikasi, pengembangan telekomunikasi
LATAR BELAKANG
Era globalisasi dan liberalisasi ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang berubah dengan cepat di setiap elemen masyarakat akan mendorong penciptaan sejumlah kebutuhan pada pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Hal ini membuat pengambil keputusan untuk mencari teknologi yang dapat menyediakan solusi dan mendorong perubahan yang diharapkan pada tingkat lokal, nasional dan global dengan cara-cara yang inovatif.
ditengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian cepat, hal ini akan berpengaruh terhadap perangkat telekomunikasi sebagai unsur penunjang dalam pelaksanaan pembangunan di bidang telekomunikasi. Tingginya ketergantungan terhadap perangkat telekomunikasi dari impor maka nilai jual telekomunikasi dalam negeri kepada masyarakat sebagai pengguna jasa telekomunikasi akan semakin mahal serta menghambat pembangunan dan perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia. Menurut statistic bahwa lebih dari 90 % investasi operator telekomunikasi dalam membangun jaringan berupa perangkat TIK masih diperoleh dari impor. Demikian juga apabila diperhatikan perangkat TIK seperti computer, hanset telepon seluler dan lain sebagainya didominasi oleh produk-produk dari luar (asing) bukan produk lokal.
Sebagai gambaran makro, bahwa potensi belanja di sector telekomunikasi bangsa Indonesia kurang lebih telah mencapai sekitar Rp. 500 trilliun, untuk belanja investasi industri telekomunikasi sekitar Rp. 60 s.d Rp. 80 Trilliun per tahun. Pertumbuhan industri telekomunikasi cukup tinggi sekitar 40 % pada tahun 2008, dan 20 % pada tahun 2009., yang merupakan produk asli nasional hanya berkisar 0,1 s.d 0,7 % untuk produk Customer Premise Equipment (CPE), pangsa pasar industri manufaktur telekomunikasi hampir seluruhnya dikuasai oleh produk import. Namun dari fenomena seperti ini belum memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri manufaktur lokal. Belanja infrastruktur komunikasi oleh operator dan belanja Customer Premise Equipment (CPE) oleh pengguna selama ini mengalir ke luar negeri, kemungkinan besar masalah ini disebabkan oleh sebagian besar kepemilikan sejumlah operator telekomunikasi nasional cenderung berada pada pihak asing, sehingga potensi belanja jasa telekomunikasi oleh pelanggan mengalir ke luar negeri. Berdasarkan penomena tersebut penulis tertarik untuk menguraikan permasalahan tersebut, sehinga dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam mengambil suatu keputusan untuk membangun industri manufaktur di Indonesia yang pada akhirnya dapat memberikan sumbangsih yang berharga untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan di neraga Indonesia yang sangat kita dambahkan ini.
Pemerintah telah berusaha dengan berbagai kebijakan pokok untuk mendorong industri dalam negeri dalam membangun dan mengembangkan produk telekomunikasi, salah satu kebijakan tersebut dikenal dengan proteksi pasar terhadap produk lokal seperti dengan mempersyaratkan kandungan lokal yang harus dipenuhi oleh penyelenggara telekomunikasi pada saat membangun infrastruktur, hal ini dapat dilihat pada saat pemberian izin penyelenggaraan (modern licensing) bagi para penyelenggara layanan 3G, dimana 35% CAPEX dan 50% OPEX dari pengeluaran penyelenggaraan telekomunikasi layanan 3G menggunakan kandungan lokal, dan telah dilakukan kebijakan berupa peningkatan kapasitas produksi domestic dengan mendorong lembaga penelitian dan Universitas berkerjsama dengan industri dalam negeri untuk mengembangkan produk manufaktur telekomunikasi.
Untuk perangkat telekomunikasi dengan teknologi sederhana seperti, pesawat telepon, perangkat telepon umum, perangkat watel radio, rectifier, antenna parabola dll, telah dapat dibuat oleh industri dalam negeri, namun untuk produk telekomunikasi dengan teknologi tinggi perlu di tingkatkan melalui program R & D (Research and Development)
PERMASALAHAN
Permasalahan pada kajian ini, pembangunan industri perangkat TIK di Indonesia belum dapat menunjang pembangunan TIK di Indonesia, hal ini di tununjukkan bahwa lebih dari 90% investasi operator telekomunikasi dalam membangun infrastruktur telekomunikasi yang berupa perangkat telekomunikasi masih diperoleh dari import, di satu pihak ada harapan pemerintah dan masyarakat Indonesia agar perangkat TIK dapat di hasilkan dari dalam negeri, namun demikian harapan tersebut masih menjadi angan-angan, mengingat masih minimnya perusahaan manufaktur telekomunikasi dalam negeri yang mampu merancang , membangun dan sukses dalam memasarkan produk dalam negeri.
Permasalahan pokok kajian ini, yaitu ”Seberapa Jauh prospek pembangunan perangkat TIK di Indonesia ?, dengan rincian permasalahan sebagai berikut :
1. Seberapa jauh dampak pembangunan industri perangkat TIK terhadap pertumbuhan/perkembangan telekomunikasi. ?
2. Seberapa jauh kebijakan pemerintah dalam membangun industri perangkat TIK ?
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kondisi pembangunan industri perangkat TIK dalam menunjang pengembangan telekomunikasi di Indonesia.
Sedangkan sasarannya adalah tercapainya pembangunan telekomunikasi menuju masyarakat yang sejahtera.
MANFAAT KAJIAN
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam menentukan langkah kebijaksanaan pembangunan industri perangkat TIK. Khususnya dalam rangka meningkatkan dampak positif kegiatan pembangunan industri perangkat TIK.
RUANG LINGKUP KAJIAN
Kajian ini hanya membahas tentang Dampak Pembangunan industri perangkat TIK dalam meningkatkan pembangunan dan pengembangan telekomunikasi di Indonesia.
LANDASAN TEORI
Dalam landasan teori ini akan dibahas tentang pengertian dan teori-teori yang relevan dengan kajian ini yaitu pembangunan industri perangkat TIK, seperti yang diuraikan dibawah ini :
Secara harfiah dalam kamus bahasa Indonesia pembangunan berasal dari kata bangun yang mengandung arti sadar, bangkit berdiri atau bentuk. Membangunan dapat berarti mendirikan, membuat atau membina. Pembangunan setidak-setidaknya mengandung dua arti yaitu, yang sepadan dengan (1) construction atau mendirikan bangunan, dan yang sepadan dengan kata (2) development atau mengembangkan, meningkatkan dan membina (Deliyanto, 1995).
Hakekat pembangunan yang sepadan dengan development adalah melakukan perubahan yan diinginkan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Ini di dukung oleh pendapat Sondang P. Siagian ( dalam Deliyanto, 1995) yang menyatakan bahwa pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.
Pembangunan dapat pula diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik (Pospowardoyo, dalam Deliyanto 1995). Pembangunan tidak hanya tebatas pada sektor ekonomi saja akan tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan.
Pembangunan Industri Perangkat TIK
Pengertian Pembangunan Industri Perangkat TIK dapat diartikan sebagai usaha untuk mengembangkan, meningkatkan, membina suatu usaha di bidang industir perangkat TIK sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas (mutu) dan taraf hidup menjadi lebih baik.
Sesuai dengan teori diatas, maka upaya-upaya kebijaksanaan pembangunan industri perangkat TIK, untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan visi dan misi Depertemen komunikasi dan informatika yaitu ; Terwujudnya Penyelenggaraan Komunikasi dan Informatika Yang Efektif dan Efisien Menuju Masyarakat Informasi Yang Sejahtera Dalam Kerangka Kesatuan Negara Repulik Indonesai dapat terwujud.
METODOLOGI PENELITIAN
Kajian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif, menurut Bogdan dan Taylon dalam Moleong (2005 : 4) menjelaskan motode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, diarahkan secara utuh (holistik).
GAMBARAN UMUM PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki kurang lebih 17 ribu pulau (6 ribu pulau berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km2. Kondisi ini merupakan suatu keuntungan yang besar karena memiliki sumber daya yang kaya, baik secara demografis maupun geografis, dengan pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah indonesia. Hal ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan dalam proses pembangunan dan pengembangan telekomunikasi. Aspek tingginya biaya pembangunan infrastruktur telekomunikasi serta belum memadai perangkat telekomunikasi yang tersedia dan masih tingginya penggunaan perangkat import merupakan suatu faktor kendala sulitnya pembangunan dan pengembangan telekomunikasi hingga ke pelosok negeri, sehingga hal ini akan menyebabkan pembangunan telekomunikasi lebih banyak dititik beratkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pulau Jawa dan sebagian Sumatra.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan wilayah yang sangat luas tersebut merupakan pangsa pasar yang sangat potensial bagi pembangunan dan pengembangan industri perangkat telekomunikasi, oleh karena itu tidak heran jumlah penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia dari tahun ketahun semakin bertambah dan hal ini juga seiring dengan kebijakan pemerintah yang mendorong berkembangnya investasi di bidang telekomunikasi.
Bila dilihat dari jumlah penyelenggara telekomunikasi untuk masing-masing jenis penyelenggaraan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari tahun 2008 sampai dengan bulan Juni 2009, secara total jumlah penyelenggara telekomunikasi meningkat sebesar 2,2% dari 365 menjadi 373 penyelenggara. Penambahan paling banyak ada pada penyelenggara jaringan tetap yang meningkat menjadi 8 penyelenggara atau 12,5% di banding tahun 2008. Penyelenggara jasa adalah jenis penyelenggara telekomunikasi yang paling banyak di banding jenis penyelenggaraan telekomunikasi lainnya disusul oleh penyelenggaraan jaringan tetap. Pada bulan Juni 2009, penyelenggara jasa ini proporsinya mencpai 71,7 % dan penyelenggara jaringan tetap proporsinya mencapai 19,2% dari total penyelenggara. Jumlah penyelenggara telekomunikasi di Indonesia sebagaimana terurai pada tebel 1 dibawah ini :
Tabel 1
Jumlah Penyelenggara Telekomunikasi di Indonesia
No. | Jenis-jenis Penyelenggaraan | 2008 | 2009 (sampai Juni 2009) |
I. | Penyelenggara Jaringan Tetap | 65 | 72 |
| 1. Penyelenggara Jaringan Tetap lokal |
|
|
| a. Circuit Switch + jasa teleponi dasar |
| 6 |
| b. Packet Switch |
| 14 |
| 2. Penyelenggara jaringan tetap jarak jauh (SLJJ) | 2 | 2 |
| 3. Penyelenggara Jaringan Tetap Internasional (SLI) | 2 | 3 |
| 4. Penyelenggara jaringan tetap tertutup | 44 | 47 |
II. | Penyelenggara Jaringan Bergerak | 15 | 17 |
| 1. Penyelenggara Jaringan Bergerak Radio Terrestrial Radio Trunking | 6 | 8 |
| 2. Penyelenggara Jaringan Bergerak seluler | 8 | 8 |
| 3. Penyelenggara Bergerak Ssatelit | 1 | 1 |
III. | Penyelenggara Jasa | 271 | 269 |
| 1. Penyelenggara Jasa Nilai Tambah Teleponi | 58 | 29 |
| 2. Penyelenggara Jasa ISP | 150 | 169 |
| 3. Penyelenggara Jasa NAP | 32 | 39 |
| 4. Penyelenggara Jasa ITKP | 25 | 25 |
| 5. Penyelenggara Jasa Siskomdat | 6 | 7 |
IV. | Penyelenggara Telekomunikasi Khusus | 14 | 17 |
Sumber : Ditjen Postel
Telepon Tetap Wireless mengalami peningkatan selama periode 3 (tiga) tahun terakhir, dengan peningkatan terbesar pada tahun 2008 yaitu sebesar 21.703.843 pengguna atau mengalami peningkatan sebesar 10.811.635 pengguna dari tahun 2007 yang hanya berjumlah 10.811.635 pengguna.peningkatan ini terjadi disebabkan oleh berasal dari kenaikan pengguna dari Bakrie Telekom yang pada tahun 2008 meningkat sebesar 518 % dan telkom meningkat sebesar 112,7%. Namun pada penyelenggara telepon kabel mengalami penurunan terutama akibat penurunan kapasitas yang terjadi pada tahun 2007 sebesar 16%. Penurunan kapasitas penyelenggaran telepon kabel dialami oleh seluruh operator yang bergerak dalam penyelenggaraan telepon kabel seperti P.T. Telkom, P.T. Indosat dan P.T. Batam Bintan Telekomunikasi (BBT). Dari sisi jumlah penurunan terbesar dialami oleh P.T. Telkom yang memang mendominasi dalam penyelenggaran telepon tetap kabel. Namun dari sisi tingkat penurunannya, paling besar dialami oleh indosat pad tahun 2007 sebesar 56% meskipun pada tahun 2009 meningkat kembali.
Pada pasar telepon bergerak seluler, terjadi peningkatan pengguna yang sangat signifikan khususnya pada tahun 2008. sampai dengan tahun 2009 jumlah pengguna telepon bergerak seluler mencapai 146 juta lebih, yang berasal dari delapan operator penyelenggara telepon bergerak seluler. Peningkatan jumlah pelanggan ini berasal dari bertambahnya jumlah penyelenggara dari 4 penyelenggara pada tahun 2004 menjadi 8 penyelenggara.
Dilihat dari teledensitas sebagai indikator yang lazim digunakan di lingkungan telekomunikasi untuk menunjukkan jumlah per seratus jiwa yang dilayani oleh satu satuan sambungan telepon (SST). Sampai dengan Juni 2009 teledensitas telepon tetap di Indonesia telah mencapai 3,82%. Ini artinya, 4 satuan sambungan telepon tetap kabel yang terpasng digunakan 100 orang. Angka ini memang masih tergolong sangat rendah. Namun jika dilihat berdasarkan penggunaan seluruh jenis telepon termasuk telepon tetap nirkabel dan telepon bergerak seluler, teledensitas telekomunikasi sudah mencapai 76,48%. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan pelanggan telepon tetap nirkabel dan telepon bergerak seluler yang sangat pesat peningkataannya dalam lima tahun terakhir.
Pada saat ini teledensitas telekomunikasi bergerak seluler telah mencapai kurang lebih 60%. Peningkatan pengguna telepon seluler sebagaimana diuraikan pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2
Jumlah Pengguna Telekomunikasi di Indonesia
Jenis Layanan | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 |
Telepon Tetap Kabel (PSTN) | 8.806.702 | 8.717.872 | 8.674.228 | 8.701.445 |
Telepon Tetap Nirkabel (FWA) | 6.014.031 | 10.811.635 | 21.703.843 | 22.523.540 |
Telepon Bergerak (Mobil) | 63.803.015 | 93.386.881 | 140.578.243 | 146.897.112 |
TOTAL | 78.623.748 | 112.916.338 | 170.956.314 | 178.112097 |
Sumber : Depkominfo, Siaran Pers No. 137/PIH/Kominfo/6/2009
Pembanding pasar telekomunikasi di Negara-negara Asia.
Beberapa negara Asia telah berhasil membangun produk TIK lokal, seperti Korea Selatan telah memproduksi memory chips, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand telah menjadi pemasok berbagai produk elektronik seperti, telepon genggam, komputer pribadi, disk drive, dan monitor komputer. Saat ini negara China hampir secara keseluruhan memasuki pangsa pasar produk teknologi telekomunikasi, China tidak hanya unggul menghasilkan produk-produk manufaktur, seperti barang-barang konsumsi rumah tangga, akan tetapi juga unggul dalam memproduksi teknologi telekomunikasi bahkan negara China sudah menjadi pemain dunia.
Sebagai contoh perusahaan Huawei Technologi yang didirikan pada tahun 1988 di kota Shenzhen, sejak didirikan Huawei mampu mengembangkan teknologi telekomunikasi dari jaringan infrastruktur telekomunikasi, perangkat lunak, sampai produk-produk telekomunikasi seluler, seperti modem atau telepon genggam. Setelah 20 tahun berkiprah di sektor telekomunikasi di China, Huawei Technologies telah melayani 36 operator telekomunikasi dari 50 operator telekomunikasi di dunia, hampir semua produk telekomunikasi Huawei sudah memasuki pasar-pasar di Eropa, Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Misalnya Belgia, Perancis, Brasil, Arab Saudi, Ghana, Thailand, dan Rusia, bahkan, di Eropa, Huawei Teknologies telah dipilih oleh operator telekomunikasi di Skandinavia, Teliasonera, untuk memasok jaringan teknologi seluler generasi keempat (long Term evolutio/LTE).
Sebagai perusahaan telekomunikasi yang terus menambah pasar dunia, menurut Kepala Komunikasi Perusahaan Huawei Ross Gan, nilai kontrak penjualan produk Huawei terus meningkat. Sebagai gambaran nilai kontrak produk Huawei Technologi tahun 2007 sebesar 16 milliar dollar AS, tahun 2008, nilai kontrak penjualan telah meningkat mencapai 23,3 Milliar dollar AS atau naik sekitar 46 %. Pada tahun 2009 nilai kontrak ditargetkan mencapai 30 milliar dollar AS. Dari nilai kontrak sebesar 23,3 milliar dollar AS pada tahun 2008, sebanyak 75 % merupakan kontrak dengan operator-operator telekomunikasi dunia, sisanya sebasarr 25 %, merupakan kontrak dengan operator di pasar China sendiri. Dari nilai kontrak sebesar 23,3 milliar dollar tersebut AS tersebut, Huawei Technologies mampu menggaet nilai penjualan atau pendapatan sebesar 18,3 milliar dollar AS. Pendapatan bersih mencapai 1,15 milliar dollar AS pada tahun 2008.
Dengan nilai kontrak dan penjualan yang besar tersebut, peran Huawei Technologies dalam perkembangan teknologi telekomunikasi dunia memang patut diperhitungkan, selain Ericson dan Nokia Siemens Network (NSN). Menurut Ross Gan Huawei Technologies ditargetkan mampu menempati peringkat ke-2 di dunia pada masa mendatang sebagai perusahaan penyedia solusi jaringan telekomunikasi seluler, keberhasilan semuanya ini dikarenakan oleh salah satu strategi industri yang secara terus menerus mengikuti evolusi perkembangan layanan technologi telekomunikasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, oleh karena itu Huawei Technologies menghabiskan biaya 2 milliar dollar AS untuk kepentingan Riset dan Pengembangan. Selain itu Huawei Technologies juga membangun Universitas sebagai tempat belajar dan latihan di kawasan industri, di tempat itu tenaga-tenaga profesional Huawei dari sejumlah negara di didik dan dilatih.
Dengan Riset yang dikembangkan, produk yang dihasilkan Huawei Technologies tidak hanya terbatas pada produk telepon genggam atau perangkat teknologi telekomunikasi seluler, seperti Code Division Multiple Acces (CDMA), global System for mobil communication (GSM), dan worldwide interoperability for microwave acces (wimax), akan tetapi juga mengembangkan jaringan infrastruktur telekomunikasi dari modem sampai stasiun penghubung telekomunikasi seluler (BTS) untuk operator telekomunikasi, bahkan telah mengembangkan perangkat jaringan telekomunikasi BTS genarasi keempat (SingleRan). Pihak manajemen Huawei Technologies memprediksi besarnya pangsa pasar produk teknologi telekomunikasi, diperkirakan, lebih dari 1 milliar
Untuk wilayah Asia Pasifik, Indonesia berada pada peringkat kedua terbawah, di atas Pakistan dan Vietnam. Model penilaian pada laporan yang disponsori oleh business sotware allliance (BSA) ini didasarkan pada 25 indikator yang terbagi kedalam enam katagori, yaitu lingkungan bisnis, infrastruktur teknologi informasi (TI), sumber daya manusia, dukungan perangkat hukum dukungan penelitian dan pengembangan, dukungan untuk perkembangan industri TI. Goh Seow Hiong, Director Software Policy Asia BSA, mengatakan dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Pasifik, terapat dua kategori yang masih belum kuat di Indonesia dan menempatkan Indonesia pada peringkat terbawah, yaitu infrastruktur TI dan dukungan perangkat hukum. Infrastruktur TI memegang peranan yang sangat penting. Hal Ini yang menyebabkan industri TI bisa berkembang dengan baik disuatu negara. Hambatan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam pengembangan infstruktur salah satunya adalah disebabkan oleh kondisi geografis yang sangat luas dan berbentuk kepulauan. Lemahnya infrastruktur TI dilihat dari masih tingginya kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Perangkat hukum, pada katagori dukungan perangkat hukum, Indonesia menduduki peringkat paling belakang, hal ini karena oleh ketiadaan beberapa perangkat hukum, dalam menunjang dan memberi jaminan kepada pengguna jasa telekomunikasi dalam bertransaksi, namun pada tahun 2008 Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Thailand yang sudah memiliki hukum perdagangan on-line dan Vietnam dengan Cyber berada di atas posisi Indonesia. Sementara itu, pada kategori lingkungan bisnis dan dukungan untuk perkembangan industri TI, Indonesia tidak berada pada posisi akhir. Investasi domestik dapat di dongkrak lagi dengan meningkatkan dukungan terhadap industri-industri TI yang memiliki nilai jual dan mendatangkan keuntungan yang tinggi, seperti jasa layanan konsultasi dan perangkat lunak, untuk lebih jelasnya daya saing Industri TI di sejumlah negara dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 3
Daya Saing Industri TI Tahun 2007
Peringat di Asia Pasifik | Peringkat Global | Negara Wilayah | Skor |
1 | 2 | Jepang | 72,7 |
2 | 3 | Kore Selatan | 67,2 |
3 | 5 | Australia | 66,5 |
4 | 6 | Taiwan | 65,8 |
5 | 11 | Singapura | 63,1 |
6 | 17 | Selandia Baru | 57,5 |
7 | 21 | Hongkong | 53,4 |
8 | 36 | Malaysia | 34,9 |
9 | 41 | Thailand | 31,9 |
10 | 46 | India | 29,1 |
11 | 47 | Fhilipina | 28,7 |
12 | 49 | China | 27,9 |
13 | 50 | Srilangka | 26 |
14 | 57 | Indonesia | 23,7 |
15 | 60 | Pakistan | 20,2 |
16 | 61 | Ietnam | 19,9 |
Sumber : Economist Intelligence Unit
Korea Selatan menduduki peringkat ke 3 secara global sebagai negara industri TIK termaju di dunia. Posisi ini adalah hasil kontribusi dari industri display (LCD, Monitor, dan telepon genggam), capaian lain yang menunjukkan Korea Selatan sebagai negara maju di bidang TIK adalah distribusi telepon genggam dan internet yang mencapai 93% dan 95% dari populasi, serta negara yang pertama kali yang mengkomersialisasikan WiBro (VERSI Korea dari WiMax). Pengakuan internasional juga banyak diperoleh, misalnya dari ITU yang menempatkan Korea Selatan di posisi pertama dalam Digital Opportunity Index, sementara dalam Electronic Government Preparation Index, yang dikeluarkan PBB, negara ini menduduki peringkat ke-5.
Meskipun memiliki prestasi demikian tinggi, Korea Selatan masih merasa khawatir dengan sektor TIKnya. TIK adalah sektor yang memberikan kontribusi ekspor paling besar (lebih dari 33% dari total ekspor), tetapi 76,7 dari ekspor TIK ini didominasi oleh tiga Item, yaitu ; keping memori (DRAM), panel display, dan telepon genggam. Disamping itu industri TIK di Korea Selatan sangat didominasi oleh peran pemain besar seperti Samsung, LG, atau Hynix, sementara peran industri kecil dan menengah hanya sebesar 13%. Dengan komposisi yang bertumpuh pada konglomerasi seperti ini, sesuatu yang wajar kalau negara ini juga khawatir, apalagi setelah terjadi krisis ekonomi global yang belum jelas kapan berakhirnya. Disamping itu dilihat dari jenis indutri, terlihat bahwa perangkat keras sangat mendominasi, jauh lebih tinggi dari porsi industri perangkat lunak yang hanya memiliki market share global sebanyal 2%.
Tantangan bagi pengembangan industri TIK di Kore Selatan adalah berubahnya berbagai tatanan sosioekonomi, baik di lingkup domestik maupun global. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan demand untuk produk dan layanan TIK konvesional (terutama telepon genggam dan internet) di pasar domestik cenderung stagnan, hal ini disebabkan karena tingkat penetrasi di industri, pemerintahan, maupun rumah tangga sudah sangat tinggi. Pada akhirnya pertumbuhan industri TIK turun, dari 22,5% pada periode 1997 s.d 2001 menjadi 9,2% pada periode 2002 s.d 2006.
Disisi lain, permintaan untuk TIK di bidang lain seperti, perbankan, pendidikan, transportasi, dan kesehatan justru semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya tingkat kematangan TIK dari masyarakat Korea Selatan. TIK telah benar-benar merasuk dan menkristal kesegap aspek kehidupan msyarakat. TIK menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap sektor kegaitan publik maupun perorangan. Dalam tatanan seperti ini, kehidupan warga dikelilingi oleh hardware, sensor, dan jaringan komputer smart. Smart ICT inilah yang membantu merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan manusia dan intitusi, sampai ke hal-hal yang kecil dan sederhana sekalipun.
Kebijakan dan Startegi
Dengan kondisi yang berada di leading edge, tidak ada pilihan bagi Korea Selatan untuk selalu mencari peluang untuk maju, kebijakan TIK yang dipilih adalah selain tetap memelihara laju industri yang sudah ada, juga menggali berbagai layanan yang bernilai tambah (value added service) yang dapat dijalankan diatas platform produk teknologi maju yang telah mereka mililki. Kebijakan yang mengkobinasikan antara inftrastruktur, produk, dan layanan ini dikenal dengan istilah IT839. angka 839 menunjukkan 8 layanan, 3 jenis infrastruktur yang menjadi unggulan dan 9 produk.
Semua layanan, infrastruktur, dan produk dalam IT839 merefleksikan kebutuhan bisnis, pelayanan publik, lifestyle perorangan di masa depan yang sangat diwarnai oleh konvergensi aspek-aspek mobilitas, fleksibilitas, kecepatan, dan kemudahan. Sebagai contoh, layanan digital media broadcating (DMB) yang memungkinkan orang menonton siaran atau dengan cara yang dipancarkan secara real-time, dimana saja, kapan saja, dan menggunakan mobile gadgets seperti laptop, PDA, atau smartphone, contoh lain dalam berbagai aktifitas keseharian, interaksi manusia dengan lingkungannya bisa digitalisasi menggunakan teknologi Radio Frekuensi Identification (RFID). Begitu berbentuk digital, maka interaksi tersebut bisa digabungkan dengan berbagai proses pengelolaan data dan informasi, yang secara keseluruhan memunculkan fenomena always on, always connected.
Strategi IT 839 yang mereka jalankan sering disebut akronim ACE IT (advanced, convergent, expanded IT). Advanded IT berarti terus mengusahakan kemajuan baik dari sisi teknologi maupun perangkat hukum dan institusi yang terkait dengan TIK. Untuk faktor yang kedua misalnya, Korea Selatan telah melebur Kementerian Informasi dan Komunikasi (Ministry of Information dan Communication – MIC) dan membentuk Kementerian Ekonomi Pengetahuan (Ministry of Knowledge Economy). Langkah ini secara jelas mencerminkan perubahan pandangan secara fundamental: TIK tiadak lagi dilihat sebagai sebuah entitas produk atau teknologi, tetapi sebagai pendorong strategis (Starategis diver) pengembangan sistem ekonomi. Dalam peran ini, TIK bersifat menyatu (inherent) dengan bidang apapun yang didorongnya. Fokus perhatian bergesar pada bagaimana mengembangkan sektor-sektor ekonomi berdasarkan pada informasi dan pengetahuan.
Aspek kedua dari CE IT, convergent IT, berurusan dengan usaha-usaha untuk menangkap peluang yang menuncul dari fenomena konvergensi 3 C (Computing, Communication, dan Content). Korea Selatan sangat mendorong tumbuhnya berbagai sektor industri baru yang mengarah pada konsep ubiquity (tersedia dimana-mana). Produk-produk yang menonjol dalam membangun konvergensi ini antara lain adalah layanan-layanan berbasis lokasi (location based services), komunikasi multimedia, dan transaksi elektronis. Dorongan untuk membangun industri baru dilakukan berdasarkan apa yang telah dicapai saat ini,
Strategi ke tiga expanded IT, mendorong lahirnya berbagai inovasi berdasarkan kondisi sekarang. Inovasi dilakukan untuk mengatasi berbagai kelemahan sistem yang ada, sekaligus memanfaatkan potensi yang ditawarkan oleh TIK.
Peran Pemerintah dan Industri.
Baik pemerintah maupun industri memegang peran yang sangat penting dalam mengembangkan TIK. Hal ini dapat dilihat dari spektrum hulu-hilir, ada 4 fase pengembangan industri TIK, introduksi layanan-layanan baru, pembangunan, infrastruktur, pengembangan bisnis dan industrialisasi. Secara umum, pemerintah lebih berperan di sektor hulu, khususnya regulasi yang terkait dengan penyediaan layanan. Regulasi tentang TIK meliputi lisensi, alokasi frekuensi, kebijakan kompetisi, maupun peraturan-peraturan hukum lainnya. Tidak semua regulasi dikeluarkan oleh lembaga kementerian. Pengaturan alokasi frekuensi misalnya dilakukan oleh Korean Communication Commission (KCC).
Semakin kehilir, peran pemerintah semakin kecil, sebaliknya peran industri semakin membesar. Pola ini setidaknya menunjukkan industri TIK di Korea Selatan sudah cukup matang untuk dilepas berkompetisi tanpa memerlukan banyak campur tangan pemerintah. Setiap simpul dalam rantai value-chain telah bekerja dengan baik untuk menghasilkan produk-produk yang kompetitif pada skala global. Pada fase yang paling hilir (industrialisasi), peran pemerintah sebatas memberikan dukungan bagi ekspor dan pemasaran secara global melalui kerjasama-kerjasama internasional. Aspek yang lain dapat dijalankan sepenuhnya oleh dunia usaha.
Untuk mencapai usaha tersebut tidaklah mudah, diperlukan roadmap yang mendeskripsikan tahapan dan persyaraatan yang harus diikuti untuk mencapai tujuan bersama. Roadmap pengembangan industri TIK ini muncul dari hasil riset strategis yang mendalam, sehingga tiap arah, langkah, milestone yang diharapkan selalu di dukung oleh argumentasi dan justifikasinya jelas. Penguasan teknologi maupun kesiapan masyarakat menjadi faktor penentu utama, sebagai contoh pengembangan berbagai layanan multimedia bergerak, selain karena teknologi komunikasi wirelessnya yang sudah maju, karena masyarakatnya punya daya beli yang cukup untuk menikmati layanan-layanan tersebut.
PEMBAHASAN
Pembangunan Industri Peralatan Industri Telekomunikasi
Segala upaya membangun dan memperluas fasilitas telekomunikasi di Indonesia, meskipun bertujuan baik dan perlu di dukung, memiliki potensi masalah besar dan mendasar. Usaha pembangunan ini memerlukan investasi yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, di tahun 2003 menurut estimasi Mastel, industri operator Indonesia menghabiskan investasi sebesar Rp. 40 trilyun, sedangkan revenue yang diperoleh diperkirakan sekitar Rp. 50 trilyun. Proporsi yang investasi yang sangat dominan ini menyebabkan waktu pengembalian modal mencapai 7 tahun. Hal ini diperburuk dengan persaingan harga yang sangat tajam, sehingga menurunkan kemampuan operator untuk memperpendek waktu pengembalian modal.
Kehadiran industri peralatan nasional dalam kebijakan pembangunan sektor telekomunikasi akan memiliki dampak umpan balik yang positif pada upaya memperluas jangkauan layanan telekomunikasi bagi masyarakat. Dana yang berputar di dalam negeri membuka lapangan kerja di dalam negeri yang pada gilirannya menumbuhkan konsumen bagi operator telekomunikasi. telekomunikasi selain itu imbas dari industri peralatan telekomunikasi terhadap perekonimian nasional juga akan berpengaruh sangat luas dan sangat penomenal.
Akibat dari kurangnya pembangunan industri peralatan telekomunikasi, perluasan fasilitas telekomunikasi dalam peningkatan perekonomian menjadi kurang optimal. Efek multiplier dari investasi terhadap ekonomi lokal tidak terjadi. Sebailknya setiap satuan sambungan terpasang (SST) di Indonesia berarti memperluas mekanisme penyedotan dana masyarakat untuk dikirim keluar negeri.
Jalan keluar dari penomena tersebut antara lain, perlunya perluasan fasilitas telekomunikasi dengan perlunya menghentikan mekanisme kontraksi ekonomi masyarakat akibat penggunaan layanan telekomunikasi adalah dengan membangkitkan industri peralatan telekomunikasi, sehingga dana yang tersendot ke luar negeri akan semakin berkurang, dan pada akhirnya perekonomian akan tumbuh serta terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Pelanggan operator telekomunikasi juga akan semakin meningkat yang disebabkan oleh menurunnya harga, harga akan semakin terjangkau, hal ini akan mendorong masyarakat untuk menjadi pelanggan.
Menyadari sangat strategisnya peran industri perangkat telekomunikasi dalam negeri, maka Konsorsium Industri Telekomunikasi Nasional (KITNAS) di bentuk pada bulan Desember 2003 di Bandung oleh industri nasional dengan dukungan P.T. Telkom Indonesia, dengan anggotanya, adalah sebagai berikut :
1. P.T. INTI
2. P.T. LEN Industri
3. P.T. CMI
4. P.T. Telnic
5. P.T. Hariff
6. P.T. Quasar
7. P.T. TKD
8. P.T. Clarisense
9. P.T. Tri-Tech
10. ITB/PP-TIK/RUSNAS TIMe.
Pembentukan KITNAS ini adalah untuk menjawab ironi hancurnya industri peralatan telekomunikasi Indonesia ditengah maraknya industri operator telekomunikasi. Tujuan KITNAS adalah memperjuangkan tumbuhnya industri telekomunikasi nasional untuk menjadi kekuatan dunia di tahun 2008. KITNAS berupaya membangun kompetensi dunia dengan bertumpuh pada sektor yang masih memiliki yaitu, telekomunikasi rural (pedesaan). Oleh sebab itu, penting bagi KITNAS mendominasi perlatan Program USO.
Industri Telekomunikasi Dalam Menunjang Pembangunan
Indoneisa perlu membangun kapasitas untuk memproduksi TIK. Kapasitas riset yang ada di berbagai lembaga riset pemerintah perlu mensinergikan dengan pihak swasta agar bisa membangun industri TIK nasional. Dengan menumbuhkembangkan industri peralatan telekomunikasi di Indonesia akan memperlancar program-program pembangunan telekomunikasi seperti konvergensi teknologi, WIMAX, Palapa Ring, Program USO, dll merupakan hal yang dapat mempengaruhi industri TIK dalam negeri.
Salah satu kendala dalam implementasi WIMAX adalah kesiapan industri komponen dalam negeri untuk memenuhi kandungan lokal minimum 30%. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang serius dalam mencanangkan konsep kebijakan penerapan BWA, diantaranya melalui upaya peletakan fondasi hukum melalui persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKD) terhadap perangkat yang akan diterapkan di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada penghematan biaya lisensi chip yang selama ini sangat tergantung pada produk luar. Nantinya semuanya akan bermuara pada kekuatan daya saing produk buatan indsutri dalam negeri, sekaligus sebagai landasan bagi terpenuhinya persyaratan TKDN sebesar 30%
Meskipun belum sepopuler teknologi Wi-Fi (Wireless Fidelity), akses broadband nirkabel ini diharapkan mampu memberikan angin segar di tengah persaingan industri telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi berbiaya murah.
Prospek Industri peralatan Telekomunikasi
Bila dilihat dari prospek industri perangkat telekomunikasi, Indonesia memiliki peluang yang cukup baik, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya pengguna telekomunikasi dari tahun ketahun, baik dilihat dari pengguna telepon seluler, Telepon Tetap Wireless mengalami peningkatan selama periode 3 (tiga) tahun terakhir, dengan peningkatan terbesar pada tahun 2008 yaitu sebesar 21.703.843 pengguna atau mengalami peningkatan sebesar 10.811.635 pengguna dari tahun 2007 yang hanya berjumlah 10.811.635 pengguna.peningkatan ini terjadi disebabkan berasal dari kenaikan pengguna dari Bakrie Telekom yang pada tahun 2008 meningkat sebesar 518 % dan telkom meningkat sebesar 112,7%. Namun pada penyelenggara telepon kabel mengalami penurunan terutama akibat penurunan kapasitas yang terjadi pada tahun 2007 sebesar 16%. Penurunan kapasitas penyelenggaran telepon kabel dialami oleh seluruh operator yang bergerak dalam penyelenggaraan telepon kabel seperti P.T. Telkom, P.T. Indosat dan P.T. Batam Bintan Telekomunikasi (BBT). Dari sisi jumlah penurunan terbesar dialami oleh P.T. Telkom yang memang mendominasi dalam penyelenggaran telepon tetap kabel. Namun dari sisi tingkat penurunannya, paling besar dialami oleh indosat pad tahun 2007 sebesar 56% meskipun pada tahun 2009 meningkat kembali.
Pada pasar telepon bergerak seluler, terjadi peningkatan pengguna yang sangat signifikan khususnya pada tahun 2008. sampai dengan tahun 2009 jumlah pengguna telepon bergerak seluler mencapai 146 juta lebih, yang berasal dari delapan operator penyelenggara telepon bergerak seluler. Peningkatan jumlah pelanggan ini berasal dari bertambahnya jumlah penyelenggara dari 4 penyelenggara pada tahun 2004 menjadi 8 penyelenggara.
Bila dilihat dari teledensitas telemunikasi menunjukkan jumlah per seratus jiwa yang dilayani oleh satu satuan sambungan telepon (SST). Sampai dengan Juni 2009 teledensitas telepon tetap di Indonesia telah mencapai 3,82%. Ini artinya, 4 satuan sambungan telepon tetap kabel yang terpasang digunakan 100 orang. Angka ini memang masih tergolong sangat rendah. Namun jika dilihat berdasarkan penggunaan seluruh jenis telepon termasuk telepon tetap nirkabel dan telepon bergerak seluler, teledensitas telekomunikasi sudah mencapai 76,48%. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan pelanggan telepon tetap nirkabel dan telepon bergerak seluler yang sangat pesat peningkatannya dalam lima tahun terakhir. Pada saat in teledensitas telekomunikasi bergerak seluler telah mencapai kurang lebih 60%. Demikian pula pada pengguna internet semakin meningkat, kini pada tahun 2009 pengguna internet telah mencapai 30 juta pengguna.
Selain terjadinya peningkatan pengguna, dan peningkatan teledensitas telekomunikasi, juga terjadi penambahan jumlah penyelenggara telepon seluler telekomunikasi yang semula hanya 4 penyelenggara pda tahun 2004 kini berjumlah 8 penyelenggara.
Dari gambaran tersebut diatas diperlukan pengembangan industri peralatan telekomunikasi dalam negeri yang selama ini hanya memiliki pangsa pasar 0,1 s.d 0,7 dari kebutuhan perangkat telekomunikasi. Serta adanya kebijakan pemerintah kepada setiap operator untuk memajukan industri dan menggunakan komponen dalam negeri
Dominasi vendor asing dalam industri telekomunikasi nasional saat ini sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. Strategi pembangunan yang hanya meningkatkan teledensitas atau jumlah satuan sambungan telepon (sst) lewat pengembangan industri jasa telekomunikasi kuranglah tepat. Hal ini kan terjadi kepincangan, jika tidak diimbangi dengan pengembangan industri perangkat atau komponen telekomunikasi nasional beserta produk turunannya. Mestinya potensi dan kemampuan seluruh komponen yang tergabung dalam Konsorsium Industri Telekomunikasi Nasional (KITNAS) sebagai industri perangkat telekomunikasi bersama, perlu di optimalkan peranannya, untuk membendung liberalisasi impor perangkat telekomunikasi. Sebagaimana telah dituangkan dalam Mutual Reconition Arrangment (MRA) yang merupakan perjanjian antar negara yang memungkinkan produk impor masuk.
Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki kemauan yang bulat dan tekad serta kesadaran bahwa industri perangkat telekomunikasi nasional adalah entitas yang tidak hanya berperan sebagai agen distributor, akan tetapi juga harus memiliki kemampuan rekayasa seperti, Network Design dan implementation, Product/Sistem Maintenace, Upgrade, Product/System Value Added. Oleh sebab itu melalui Konsorsium Industri Telekomunikasi Nasional (KITNAS) sebagai industri perangkat telekomunikasi pemerintah secara bersama-sama harus mendorong kepada konsorsium tersebut untuk bisa menjadi lokomotif industri telekomunikasi andalan dan menjadi pelopor bagi industri kecil dan menengah menuju bisnis bertaraf internasional.
Memiliki strategi jangka pendek yakni optimalisasi terhadap portofolio perusahaan. Optimalisasi tersebut tidak harus dengan cara menutup kegiatan produksi atau fabrikasi, akan tetapi tetap focus kegiatan jasa rekayasa dan atau pengembangan produk-produk untuk meraih pangsa pasar. Sedangkan starategi jangka menengah dan panjang adalah mempersiapkan diri menjadi industri komponen atau semikonduktor dan industri perangkat, baik devices, network maupun aplikasinya.
Upaya-upaya yamg telah dilakukan.
Pemerintah telah berusaha untuk mendorong tumbuhnya industri telekomunikasi dengan mengembangkan produk telekomunikasi, salah satu kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dikenal dengan proteksi pasar terhadap produk lokal yaitu dengan mempersyaratkan kandungan lokal yang harus dipenuhi oleh penyelenggara telekomunikasi pada saat mebangun infrastruktur. Hal ini telah dilakukan pada saat pemberian izin penyelenggaraan (modern licensing) bagi para penyelenggara layanan 3G sekitar setahun yang lalu, dimana 35% CEPEX dan 50% OPEX dari pengeluaran penyelenggara telekomunikasi layanan 3G menggunakan kandungan lokal.
Pada saat yang bersamaan telah ditempuh kebijakan, berupa peningkatan kapasitas produk domestik dengan mendorong lembaga penelitian dan universitas untuk bekerjasama dengan industri dalam negeri dalam mengembangkan produk telekomunikasi.
Untuk perangkat telekomunikasi dengan teknologi sederhana seperti pesawat telepon, perangkat telepon umum, perangkat wartel radio, recifier, antenna parabola dll telah dapat dibuat oleh industri dalam negeri, namun untuk produk produk telekomunikasi teknologi tinggi, kapasitas industri dalam negeri perlu ditingkatkan melalui program R & D ( Research & Development).
Langkah konkrit yang telah ditempuh oleh pemerintah Melalui Ditjen Postel dalam mendorong penggunaan produksi dalam negeri di sektor telekomunikasi diantaranya, adalah dengan diterbitkannya Izin Penyelenggaraan Layanan 3G berdasarkan keputusan Menteri Kominfo pada sekitar Oktober 2006, kepada beberapa penyelenggara telekomunikasi layanan 3G. Di dalam izin penyelenggaraaan tersebut dinyatakan tentang kewajiban penggunaan produksi dalam negeri, yaitu pertama, penyelenggara telekomunikasi wajib menggunakan produk dalam negeri dalam bentuk pembelanjaan modal (capital expenditure) sekurang-kurangnya 30% per tahun dan pembiayaan operaional (operating expenditure) sekurang-kurangnya 50% per tahun dalam membangun jaringan bergerak seluler sistem IMT2000/3G.
Kedua, pembelanjaan modal dan pembiayaan operaional tersebut tidak termasuk untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung, penyewaan gedung, pemeliharaan gedung dan gaji pegawai.
Ketika, kriteria dan ruang lingkup produksi dalam negeri tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan tersendiri.
Keempat, ketentuan penggunaan produksi dalam negeri untuk pembangunan jaringan bergerak seluler sistem GSM 900/DCS 1800 diatur dalam pertauran tersendiri.
Kebijakan Pengembangan Industri Perangkat Telekomunikasi
Untuk mengembangkan industri prangkat telekomunikasi diperlukan langkah-langka sebagai berikut :
1. Membuka kesempatan bagi terwujudnya iklim usaha yang kondusif;
2. Menciptakan suatu kebijakan yag transparan, konsisten dan memberikan jaminan terhadap dunia usaha dan masyarakat;
3. Meningkatkan wirausaha baru serta meningkatkan produktivitas sumber daya manusia;
4. Menyediakan produk Telekomunikai dengan harga yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
5. Meningkatkan penguatan/pengamanan pasar dalam negeri;
6. Mengembangkan standar industri perangkat telekomunikasi;
7. Mengembangkan kawasan khusus industri perangkat telekomunikasi.
Target Pengembangan perangkat telekomunikasi
1. Tumbuhnya sentra-sentra regional pengembangan industri telekomunikasi;
2. Tersedianya standard kompettensi usaha dan profesi industri telekomunikasi;
3. Tumbuhnya industri perangkat telekomunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan lokal maupun peluang pasar ekspor;
4. Tercapainya target lapangan kerja baru.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Potensi belanja di sector telekomunikasi bangsa Indonesia sekitar Rp. 500 trilliun. Belanja investasi industri telekomunikasi sekitar Rp. 60 s.d Rp. 80 Trilliun per tahun. Pertumbuhan industri telekomunikasi cukup tinggi sekitar 40 % pada tahun 2008 dan 20 % pada tahun 2009., yang merupakan produk asli nasional hanya berkisar 0,1 s.d 0,7 % untuk produk Customer Premise Equipment (CPE), pangsa pasar hampir seluruhnya dikuasai oleh produk import. Belanja infrastruktur komunikasi oleh operator dan belanja Customer Premise Equipment (CPE) oleh pengguna mengalir ke luar negeri, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh sebagian besar kepemilikan sejumlah operator telekomunikasi nasional cenderung berada pada pihak asing, sehingga potensi belanja jasa telekomunikasi oleh pelanggan mengalir ke luar negeri.
2. Era globalisasi dan liberalisasi ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang berubah dengan cepat di setiap elemen masyarakat akan mendorong penciptaan sejumlah kebutuhan pada pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
3. Salah satu kendala dalam implementasi WIMAX adalah kesiapan industri komponen dalam negeri untuk memenuhi kandungan lokal minimum 30%. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang serius dalam mencanangkan konsep kebijakan penerapan BWA, diantaranya melalui upaya pelatakan fondasi hukum melalui persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKD) terhadap perangkat yang akan diterapkan di Indonesia.
4. Aspek tingginya biaya pembangunan infrastruktur telekomunikasi serta belum memadai perangkat telekomunikasi yang tersedia dan masih tingginya penggunaan perangkat import merupakan suatu faktor kendala sulitnya pembangunan dan pengembangan telekomunikasi hingga ke pelosok negeri, sehingga hal ini menyebabkan pembangunan telekomunikasi lebih banyak dititik beratkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pulau Jawa dan sebagian Sumatera.
5. Sebagian besar kepemilikan sejumlah operator telekomunikasi nasional cenderung berada pada pihak asing, sehingga potensi belanja jasa telekomunikasi oleh pelanggan mengalir ke luar negeri.
6. Belum adanya suatu badan komite yang berfungsi mengawasi masuknya produk-produk telekomunikasi secara ilegal, hal ini sangat berfungsi untuk melindungi produk-produk dalam negeri di bidang perangkat telekomunikasi.
7. Masih lemahnya penegakan hukum di bi perangkat telekomunikasi ilegal.
SARAN
1. Perlunya pencanangkan konsep kebijakan penerapan BWA, diantaranya melalui upaya pelatakan fondasi hukum melalui persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) terhadap perangkat yang akan diterapkan di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada penghematan biaya lisensi chip yang selama ini sangat tergantung pada produk luar. Nantinya semuanya akan bermuara pada kekuatan daya saing produk buatan indsutri dalam negeri, sekaligus sebagai landasan bagi terpenuhinya persyaratan TKDN sebesar 30%
2. Perlunya pembagian tugas dan koordinasi yang jelas antara pemerintah, lembaga riset, dan pihak swasta. Riset pasar dan trend bisnis masa depan dilaksanakan oleh lembaga riset, dan hasil riset tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan swasta untuk mengembangkan bisnis tersebut, pemerintah membuat regulasi yang bisa mendorong iklim bisnis dan sekaligus menjaga kompetisi yang sehat.
3. Indoneisa perlu membangun kapasitas untuk memproduksi TIK. Kapasitas riset yang ada di berbagai lembaga riset pemerintah perlu disinergikan dengan pihak swasta agar bisa membangun industri TIK nasional. Dengan menumbuhkembangkan industri peralatan telekomunikasi di Indonesia akan memperlancar program-program pembangunan telekomunikasi seperti konvergensi teknologi, WIMAX, Palapa Ring, Program USO, dll merupakan hal yang dapat mempengaruhi industri TIK dalam negeri.
4. Diperlukan suatu roadmap yang mendeskripsikan tahapan dan persyaraatan yang harus diikuti untuk mencapai tujuan bersama. Roadmap pengembangan industri TIK ini muncul dari hasil riset strategis yang mendalam, sehingga tiap arah, langkah, milestone yang diaharapkan selalu di dukung oleh argumentasi dan justifikasinya yang jelas. Penguasan teknologi maupun kesiapan masyarakat menjadi faktor penentu utama.
5. Mendorong bagi perusahaan telekomunikasi di Indonesia untuk berinvestasi dalam pembangunan industri manufaktur telekomunikasi.
6. Diperlukan pengaturan dan kontrol yang baik terhadapnya masuknya produk teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, sehingga tidak berubah fungsi menjadi sebuah perangkat yang dapat mencancam kehidupan industri perangkat telekomunikasi di dalam negeri.
7. Di perlukan sebuah Komite gabungan untuk secara rutin menjaga agar produk-produk telekomunikasi tidak masuk secara ilegal, dan secara rutin melakukan sweeping terhadap produk-produk yang belum di sertifikasi.
8. Diperlukan penegakan hukum yang tegas dari segala bentuk penyimpangan yang terjadi baik dalam proses masuknya maupun dalam penggunaannya, apabila dalam proses masuknya industri telekomunikasi ini masih banyak yang melakukan secara ilegal atau tanpa di sertifikasi terlebih dahulu maka negara mengalami kerugian yang sangat besar.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis Indonesia, 28 September 2007.
Ditjen Postel, 2009, Statistik Bidang Pos dan Telekomunikasi, Jakarta, Ditjen Postel
Lukito Edi Nugroho, Ketua Jurusan Teknik Elektro FT. UGM, Peserta Studi Visit for Indonesian ICT Oficials,. 2008
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, 2006, Bandung.
Revitalisasi Industri Teknologi dan Informasi dan Komunikasi, Menteri Perundustrian, disampaikan pada cara Konferensi Nasional DETIKNAS dengan Topik Progres Pembangunan TIK Nasional untuk Kejayaan dan Sekaligus untuk menyambut peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, 2008.
Undang-undang Nomor : 36 Tahun 1999, Tentang Telekomunikasi
BIODATA MARHUM DJAUHARI, Lahir di Jakarta, 15 Juli 1960, Jabatan Peneliti Muda Pada Puslitbang Postel.
0 komentar:
Posting Komentar