| Diperlukan sebuah kerja yang nyata untuk menyelesaikan masalah kelistrikan nasional yang di satu pihak PLN selalu menuntut kenaikan tarif, tetapi di lain pihak tak kunjung mampu menyediakan tenaga listrik secara memadai. Sampai saat ini solusi yang ditempuh selalu tambal sulam, padahal yang dibutuhkan adalah solusi menyeluruh atau once for all solution. Setidaknya PLN menghadapi tiga masalah besar yang harus segera ditangani. Pertama, mahalnya biaya pembangkitan yang berujung pada pembengkakan subsidi. Setiap ada kenaikan harga minyak dunia, PLN dihadapkan pada pilihan yang sulit, yakni pembengkakan ongkos pembangkitan. Kedua adalah masalah kekurangan pasokan tenaga listrik yang mengakibatkan tidak bisa terlayaninya sebagian konsumen potensial. Sementara pengusaha dan rakyat semakin membutuhkan pasokan secara memadai untuk menopang aktivitas mereka, PLN tak kunjung mampu menyediakannya. Ketiga, buruknya kualitas infrastruktur transmisi yang sering mengakibatkan pemadaman sementara di wilayah yang jaringan listriknya sedang dilanda masalah. Contoh yang terakhir adalah terbakarnya sebuah gardu listrik yang menyebabkan sebagian Jakarta gelap gulita. Seandainya saja kita mau bekerja menyelesaikannya, ketiga masalah tersebut sebetulnya sangat mudah untuk ditangani. Sebagai contoh mari kita analisis masalah mahalnya biaya pembangkitan. Perlu diketahui, biaya pembangkitan di Indonesia lebih mahal dibandingkan Malaysia dan bahkan Jepang sekalipun. Masalahnya hanya dua, yakni mahalnya ongkos penyediaan tenaga listrik oleh swasta dan inefisiensi yang terjadi di tubuh PLN. Kalau kita merasa kesulitan mengendalikan ongkos listrik swasta, sebenarnya penanganan inefisiensi internal PLN bisa menyelesaikan 50 persen masalah. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, inefisiensi yang paling besar adalah dalam bentuk kesalahan penggunaan bauran energi (energy mix) dalam pembangkitan di PT Indonesia Power (PT IP). PT IP seharusnya menggunakan jenis energi yang murah, yaitu gas dan bukannya BBM yang harganya lebih mahal. Ongkos pembangkitan dengan menggunakan BBM adalah tiga kali lipat ongkos menggunakan gas. Padahal secara teknologi, PT IP menggunakan sistem bahan bakar ganda (double fire system) sehingga penggunaan bahan bakar yang lebih murah dimungkinkan. Dalam sistem ini, ketika BBM menjadi lebih mahal, penggunaan gas bisa menjadi alternatif. Begitu juga jika gas lebih mahal, seharusnya BBM digunakan sebagai sumber pembangkitan. Masalahnya adalah PT IP justru menggunakan energi yang lebih mahal. Temuan BPK menyebutkan PT Indonesia Power kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp 27.945,02 miliar karena menggunakan bahan bakar minyak pada enam pembangkit yang dapat dioperasikan dengan bahan bakar ganda (minyak atau gas). Apabila kerugian semacam ini dapat dihindari, sebetulnya subsidi listrik dapat ditekan menjadi setengahnya saja. Karena itu, subsidi listrik sebetulnya bukan akibat dari kesalahan konsumen, melainkan lebih merupakan pembebanan pada negara atas inefisiensi yang terjadi di PT IP. Pangkal masalahnya adalah belum adanya kebijakan energi primer pemerintah yang dapat mendukung tersedianya pasokan gas yang cukup bagi pembangkit PLN. Hal tersebut merupakan akibat dari tiga masalah akut, tetapi sebenarnya mudah untuk diselesaikan. Pertama, pemerintah lebih mengutamakan ekspor gas ketimbang penggunaan dalam negeri. Gas yang murah lebih diprioritaskan untuk menopang pembangkit listrik di negeri orang ketimbang dipakai oleh bangsa sendiri. Pasokan gas ke Jepang, misalnya, telah membuat negeri tersebut selalu terang benderang dengan harga yang murah. Kedua, bisnis pengadaan minyak impor merupakan ladang bagi perburuan rente yang sangat menguntungkan dan melibatkan perusahaan yang berada di sekitar kekuasaan selama puluhan tahun. Kekuatan mereka dalam menentukan arah kebijakan energi memang tidak bisa dilihat secara kasat mata, tetapi dampaknya sungguh menyakitkan rakyat. Ketiga, pemerintah tidak kunjung melakukan investasi dalam receiving terminal di Pulau Jawa. Dengan demikian, walaupun kita memiliki sumber gas yang cukup, tidak bisa disalurkan karena tidak ada terminal penampungan yang memadai. Dengan terminal ini, masalah apakah gas yang digunakan adalah berasal dari perut Ibu Pertiwi atau dari impor menjadi tidak relevan. Adalah masih lebih murah mengimpor gas ketimbang mengimpor BBM. Poin saya adalah negara mitra tak usah khawatir dengan dibangunnya terminal ini karena kelak pasokan gas untuk ekspor akan dihentikan secara total. Tentu kita harus menghormati kontrak. Apalagi, masih banyak ladang gas baru yang akan dieksploitasi yang sebetulnya cukup untuk mengonversi penggunaan BBM. Dari uraian tersebut di atas, sebetulnya solusinya adalah gampang sekali, yakni pemerintah sebaiknya segera membangun infrastruktur gas berupa receiving terminal dan jaringan pipa gas langsung ke lokasi pembangkitan PT IP. Ongkos untuk pembangunan infrastruktur ini hanya sekitar dua miliar dolar AS atau jauh lebih rendah dari inefisiensi yang terjadi. Ongkos ini bisa dibebankan pada APBN atau dalam bentuk penyertaan modal baru kepada PT Pertamina atau PT PGN. Receiving terminal juga bisa menyediakan gas bagi industri manufaktur swasta atau bahkan menyalurkan gas ke rumah tangga (city gas). Seandainya gas hasil DMO tidak mencukupi, pengadaan gas impor masih jauh menguntungkan dibanding mengimpor minyak. Sebagai penutup adalah sangat aneh kalau masalah kelistrikan dibiarkan berlarut-larut. Masalahnya bukan pada apakah kita mampu berbuat, melainkan apakah kita mau berbuat yang terbaik untuk bangsa. sumber : Republika |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar